Opini : Bali-ku, Masihkah Kau Seperti Dulu???

Hawa dingin di pagi hari ini seolah-olah mencubit-cubit kulit agar saya lekas beranjak dari tempat tidur. Dan tumben-tumbennnya saya bisa bangun pagi, padahal saya baru tidur jam 4 pagi tadi. Memang dari hari ini sampai 5 hari ke depan saya akan tinggal sendirian di rumah, lantaran bibi dan saudara saya yang lainnya sedang keluar kota. Yuppzz, bibi saya pergi ke Malang dan kedua saudara saya berlibur ke Bali. Tinggallah saya saja yang harus diam di rumah. Kenapa gak liburan? (#haha) UAS aja belum, gimana mau liburan. Selain itu saya juga masih banyak hutang pekerjaan yang harus saya selesaikan sampai akhir bulan Juli ini.

Saya matikan semua lampu-lampu yang menyala, dan iseng untuk mengintip dunia maya di pagi hari yang hawanya hampir sama dengan di kutub (#berdasarkan survey status pengguna Facebook pagi ini). Tak lama berselang, muncullah teman lama saya yang menanyakan “Kamu gak pulang ke Bali?”. Langsung saja saya teringat, bahwa hari rabu besok adalah hari raya Galungan. Galungan adalah satu hari raya terbesar di agama saya. Dan saya hanya bisa menjawab “Aku gak pulang, aku masih banyak kerjaan disini”. Jika rabu besok saya tidak jadi pulang ke Bali, artinya sudah 2 kali hari raya Galungan saya lewatkan tanpa keluarga di Bali dan harus puas ber-hari raya di rantauan.

Ngomong-ngomong masalah pulang, tentulah saya ingat dengan Bali, pulau dimana saya dilahirkan dan dibesarkan oleh orang tua saya. Banyak orang yang ingin berkunjung ke pulau yang dijuluki dengan pulau Seribu Pura ini. Mulai dari wisatawan domestik sampai wisatawan asing. Bahkan tak sedikit dari mereka yang ingin menetap di Bali. Banyak teman-teman saya yang berkata, “Enak yaw tinggal di Bali”. Sekilas memang enak, tinggal di pulau yang kaya akan potensi-potensi pariwisata. Namun semua itu, tidak lebih dari sebuah “bummerang” untuk eksistensi pulau Bali itu sendiri. Banyak investor-investor yang mulai berinvenstasi di Bali. Memang seperti pisau yang bermata 2, pasti ada sisi baik dan buruknya. Pada awalnya, semua memang terlihat baik-baik saja. Lapangan pekerjaan mulai bermunculan dimana-mana. Lambat laun, semakin banyak investor yang berdatangan ke pulau Bali. Dan dimulailah kehancuran itu sendiri. Mulai dari sesaknya tata ruang kota, kemacetan layaknya Jakarta, polusi udara dan yang paling membuat saya sedih adalah lunturnya budaya serta tumbuh bibit-bibit egois di masyarakat Bali.

Bukan tanpa alasan saya mengeluarkan pernyataan seperti itu, karena saya sudah melihat dan mengalami hal tersebut. Setiap saya pulang ke Bali, saya sangat enggan untuk berpergian di siang hari. Alasannya? Karena kemacetan yang lumayan membuat lelah dan kesal. Budaya yang luntur, bisa dilihat dari malunya pemuda-pemudi Bali untuk menggunakan bahasa Bali itu sendiri. Dan kembali yang paling membuat saya sangat sedih, yaitu tanah yang merupakan warisan leluhur dijual begitu saja kepada pihak luar. Yaw begitulah memang masyarakat Bali, terlena dengan semua buaian para investor asing maupun luar pulau. Seharusnya tanah leluhur tersebut disewakan saja, agar kelak anak cucu mereka tahu bahwa leluhur mereka masih meninggalkan warisan untuk mereka.

Masih banyak penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di pulau yang saya cintai tersebut, yang pastinya menimbulkan banyak permasalahan. Dan di tahun-tahun mendatang akan semakin banyak permasalahan yang muncul jika pemerintah dan masyarakat Bali tidak cepat-cepat sadar akan bahaya yang menanti di depan mereka. Jujur, semenjak 2 tahun tinggal di Banyuwangi dan ketika pulang ke Bali, banyak perubahan yang sudah terjadi. Yang biasanya musim layangan seperti sekarang ini, banyak anak-anak yang bermain layangan di sawah. Dan sekarang saya tidak temukan lagi sawah tempat mereka bermain layangan, semua sudah menjadi “sawah beton”. Rasanya saya ingin pindah saja ke tempat yang terpencil dan jauh dari keramaian. Karena yang saya cari sekarang bukanlah harta lagi, tapi ketenangan hidup. 2 tahun kehidupan di Banyuwangi sudah mengubah paradigma berpikir saya selama ini. Tapi jika ingin benar-benar pindah, apakah bisa pura leluhur yang diwariskan oleh para leluhur ke keluarga saya, saya tinggalkan begitu saja. Terpaksa semua ego dan angan-angan untuk pindah ke tempat terpencil itu saya kubur dalam-dalam. Intinya, bagaimanapun Bali nantinya saya akan tetap tinggal di pulau yang indah ini dan saya jalani semuanya dengan keikhlasan dan petunjuk dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

1 Comment

  1. Gunawan Reply

    Sajan to, mani mulih be telah tanah meadep..
    mudah2an masyarakat bali masih ingat Tri Hita Karana